Keterbatasan Revolusi Hijau Upaya Manusia Dalam Pengembangan Sumber Daya Hayati

Keterbatasan Revolusi Hijau Upaya Manusia Dalam Pengembangan Sumber Daya Hayati - Revolusi hijau tidak begitu saja bergulir memasyarakat. Indonesia memerlukan 14 tahun (1970-1984) untuk memasyarakatkan pancausaha tani sebagai mekanisme pelaksanaan revolusi hijau, sehingga Indonesia dapat dimaklumi tidak perlu lagi mengimpor beras.

Keterbatasan Revolusi Hijau Upaya Manusia Dalam Pengembangan Sumber Daya Hayati

Beberapa faktor dapat merupakan kendala yang dapat membatasi penyebaran dan keberhasilan jangka panjang revolusi hijau masa kini dan masa mendatang. Tanpa pemberian dosis pupuk dan pengairan yang cukup tepat, varietas – varietas unggul tidak lagi dapat menghasilkan panenan yang lebih tinggi, bahkan mungkin malah lebih rendah daripada bibit tradisional.

Masalah berikutnya adalah bahwa kenaikan produksi pangan secara menyeluruh harus dibayar dengan mengurangi produksi pangan protein. Contoh di India lahan yang biasa memproduksi pangan dengan kandungan protein, demi mengejar produksi beras (sumber karbohidrat) telah diubah menjadi lahan persawahan dengan tanaman padi.

Akibatnya bukan hanya produksi pangan protein yang menurun tetapi juga tanah menjadi subur tidak subur lagi. Seperti kita ketahui, tanaman penghasil protein (nabati) umumnya adalah dari golongan Leguminosae yang dapat memperkaya kandungan nitrogen dalam tanah yang merupakan unsur hara bagi tanaman. Sebagai akibat menurunya produksi pangan protein, negara tersebut berubah dari penyimpan beras menjadi pengimpor kedelai dan kacang – kacangan lainya.

Beberapa daerah rawa – rawa, daerah pasang surut atau hutan bakau, areal pengembangan yang semula menjadi sumber protein hewani, (ikan, Kepiting, udang, cumi - cumi, ternak) banyak yang diubah menjadi sawah pangan manusia bukan hanya karbohidrat melainkan juga protein dan lain – lain.

Intensifikasi pertanian melibatkan penggunaan pupuk dan obat – obatan penyemprot hama. Semuanya ini bukanya tanpa dampak lingkungan. Secara tradisional petani kita dahulu menggunakan sisa – sisa tumbuhan, daun, ranting, kulit/biji yang telah membusuk dan kotoran hewan sebagai pupuk hijau dan pupuk kandang untuk penyubur tanah, Jutaan miliar bangkai bakteri pembusuk dengan hasil penguraianya terhadap sisa – sisa bahan organic tersebut. Dengan sisa tanaman Leguminosae diatas lahan akan menjadi lahan mandiri didalam memasok unsur hara bagi tumbuhan yang ditanam, tanpa perlu tambahan pupuk buatan dari luar.

Penambahan pupuk buatan dan obat – obatan telah membuat tanah “manja” dan hilangnya kemampuan mikroorganisme tanah yang merupakan agen penyubur tanah. Tanah – tanah demikian, dalam kurun waktu 20- 30 tahun akan mencapai titik balik penurunan tingkat produktivitas panenan yang semula berlipat ganda menjadi menurun atau nol sama sekali.

Hal demikian telah dialami oleh Amerika Serikat untuk produk jagung dan gandum. Seperti kamu ketahui, jagung disana sebagian besar untuk makanan ternak yang sebaliknya memberi susu dan daging sebagai sumber protein.

Jika kita tidak waspada, revolusi hijau kita dengan mekanisme pelaksanaan seperti sekarang, dalam jangka 20- 30 tahun (dari 1970), titik balik penurunan produktivitas akan dialami juga oleh Indonesia, artinya walau kita menggunakan  bibit unggul, pengairan yang baik, pemupukan dan penyemprotan, produksi yang akan diraih tidak akan seimbang dengan dana dan usaha yang di keluarkan.

Para pakar kini mulai memikirkan untuk memperbaiki mekanisme revolusi hijau, antara lain pertimbangan pupuk kandang lebih diutamakan dan pupuk hijau lebih diintensifkan daripada penggunaan pupuk buatan, pengendelaian hama secara biologi lebih diutamakan daripada penggunaan pestisida kimia dan menggalakan pengaplikasian genetika dalam pengadaan bibit.

Pembentukan lahan pertanian (ladang, sawah) baru untuk meningkatkan produksi beras dan bahan pangan lain telah menjadi penyebab hilangnya atau berkurangnya keanekaragaman genetika.

Sekarang disadari bahwa keanekaragaman jenis merupakan bahan mentah pokok bagi rekayasa genetika untuk memperoleh bibit unggul yang baru. Hilangnya satu spesies tumbuhan atau hewan dari bumi ini adalah “forever” untuk selama – lamanya! Padahal, tidak mustahil spesies itu mengandung gen yang amat diperlukan dalam merakit bibit baru, seperti gen pembawa sifat tahan hama, toleransi tinggi terhadap kekeringan/berair banyak, berumur pendek, rasa enak dan sebagainya.

Faktor pembatas lain yang menghambat pelaksanaan revolusi hijau adalah letak geografis lahan pertanian, keadaan tanah dan hama endemic diberbagai daerah.

Lahan – lahan yang sebenarnya potensial untuk dijadikan areal pertanian terletak jauh dari keramaian penduduk sehingga tidak ada penggarap, atau kurang menguntungkan karena tidak/belum ada system irigasi.

Banyak lahan yang secara geografis menguntungkan tetapi keadaan tanahnya kritis, tidak subur atau penuh dengan berbagai hama baik hama serangga atau hewan besar lainya yang dilindungi.

Revolusi hijau disamping mempunyai keterbatasn – keterbatasan, juga mengandung masalah baru, baik masalah sosial maupun masalah lingkungan (sudah disinggung mengenai penggunaan pupuk buatan dan dampak obat – obatan penyemprot pestisida) “pukulan” balik terhadap petani kecil telah terjadi diberbagai negara berkembang ketika industrialisasi/mekanisasi pertanian masuk ke desa – desa. Petani buruh kehilangan pekerjaan karena masuknya traktor pengganti bajak dan cangkul, dan huller menggantikan pekerjaan ibu – ibu petani penumbuk padi.

Dampak dari ini kemudian menghilangnya kemampuan dan kemauan anak – anak desa/petani menggarap tanah sawahnya. Mereka kehilangan pekerjaan sebelum pemerintah dapat mengadakan kompensasi (pengganti) pekerjaan baru. Mereka lari ke kota dan urbanisasi terjadi dimana – mana.

Mempertahankan revolusi hijau agar tetap berlanjut merupakan proses yang tiada ujung akhirnya. Bibit – bibit unggul yang semula tahan hama menjadi peka lagi terhadap hama strain baru yang juga “memperbaiki” diri menjadi kebal terhadap pestisida dan obat – obatan penyemprot lain. Karena itu manusia mulai melirik lautan sebagai sumber makanan dan mencari alternative lain bagi penyempurnaan Revolusi Hijau tahap II yang bertumpu pada bioteknologi/rekayasa genetic dan pemuliaan tanaman serta hewan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel