Revolusi Biru | Upaya Manusia dalam Pengembangan Sumber Daya Hayati

Revolusi Biru Upaya Manusia dalam Pengembangan Sumber Daya Hayati - Seperti yang telah dikemukakan, revolusi hijau memiliki keterbatasan – keterbatasan. Daratan dengan pancausaha taninya sementara ini dapat menyediakan sumber karbohidrat pangan, tetapi penyediaan protein pangan belum memadai. 

Konsumsi protein rakyat Indonesia masih amat rendah dibandingkan dengan rakyat negara – negara lain, karena itu kita perlu memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan protein tersebut. Dunia pada umumnya, Indonesia khususnya kini secara intensif mengeksploitasi sumber daya alam laut untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama kebutuhan protein. Inilah revolusi biru. Mengapa lari ke laut? 

Lautan menutupi 70 persen permukaan bumi kita. Dari luas ini manusia memanen sekitar 34 – 77 juta ton ikan dan kerang – kerangan sebagai sumber protein tiap tahun (antara 1960 – 1970) dan naik hingga 84 juta ton pada 1985. 

Revolusi Biru | Upaya Manusia dalam Pengembangan Sumber Daya Hayati
Contoh sumber protein hewani yang berasal
dari lautan

Ikan dan kerang – kerangan memasok 6% kebutuhan protein untuk manusia dan 24% kebutuhan protein hewan piaraan (ternak dan ungags). Pasokan dari laut ini lebih besar daripada pasokan dari sapi, dua kali lipat pasokan protein dari telur dan tiga kali dari unggas.

Ikan dan kerang – kerangan merupakan sumber utama protein hewani, zat besi dan iodium untuk lebih dari separoh penduduk bumi, terutama di Asia dan Afrika. 

Lebih kurang 91% komoditi ikan dan kerang – kerangan datang dari laut dan hanya 9% dari perairan darat. Lebih kurang 70% hasil ikan laut dikonsumsi oleh manusia, sisanya dibuat tepung ikan untuk pakan ungags dan ternak, terutama babi dan sapi. 

Perlu kita ketahui ikan – ikan itu tidak merata tersebar di semua lautan. Keberadaan mereka tergantung pada tumbuhan laut dan organisme renik lainya yaitu fito dan zooplankton. 

Plankton – plankton ini hidupnya juga tergantung pada faktor – faktor lain yang beranekaragam dalam lautan yang berbeda – beda. Seperti halnya tumbuhan (produsen) di daratan, tumbuhan laut juga memerlukan nitrogen dan fosfor sebagai “makananya” yang distribusinya dalam laut tergantung pada pola perputaran (sirkulasi) air laut, sedang ketersediaanya tergantung pada pasok air sungai dari pulau – pulau dan benua yang bermuara di lautan. 


Revolusi Biru | Upaya Manusia dalam Pengembangan Sumber Daya Hayati

                 Jaring – jaring kehidupan laut

Tanaman lautpun memerlukan cahaya untuk berfotosintesis. Kedalaman laut yang masih dapat ditembus cahaya tergantung pada kejernihan/kekentalan lumpur dan penyerapan cahaya oleh air laut. 

Zona yang memiliki intensitas cahaya cukup untuk berfotosintesis berada pada kedalaman tidak melebihi 90 m dengan berbagai variasi. Dengan demikian, pemanenan ikan di lautan harus mempertimbangkan pertama, intensitas penangkapan dan kedua, kecepatan pertumbuhan vegetasi laut. Perlu diingat, hasil penangkapan ikan amat tergantung, juga pada kedalaman penangkapan itu dilakukan. 

Jika nelayan kita dengan perahu – perahu kecil hanya dapat beroperasi di daerah pantai dengan kedalaman kurang dari 50 m. dapat kita bayangkan perolehanya! Negara – negara maju dengan teknologi perikananya telah mempertinggi hasil penangkapan ikanya dengan menggunakan kapal – kapal penagkap ikan yang besar dan dapat beroperasi di lautan terbuka pada kedalaman yang tinggi. 

Mereka mengerahkan armada ikan yang diperlengkapi dengan alat – alat canggih seperti sonar (pemancar gelombang suara frekuensi tinggi yang terpantul bila mengenai benda padat). Helikopter, fotografi wilayah dari satelit dan pengukuran suhu untuk mendeteksi tempat kawanan ikan – ikan. Mereka menggunakan cahaya dan electrode untuk memikat ikan dan jala bermata halus untuk menguras seluruh isi lautan. 

Kapal – kapal pukat raksasa sekaligus merupakan pabrik terapung terus mengolah atau mendinginkan ikan tangkapanya. Kapal – kapal demikian berlayar beberapa bulan bahkan beberapa tahun, singgah dipelabuhan – pelabuhan besar untuk menjual ikan yang sudah diproses sekaligus mengisi bahan bakar, air tawar dan berbelanja untuk keperluan hidup para anak buah kapal dan perwira – perwiranya. 

Lebih kurang 98% tangkapan ikan pertahun terjadi di belahan utara, hanya s% saja tangkapan ikan di belahan bumi selatan. Hal ini bukan karena produkstivitas biologi kelautan di belahan bumi selatan yang rendah, melainkan oleh kurang intensifnya cara penangkapan. Negara – negara industry maju yang berbatasan dengan Samudra pasifik dan Atlantik melakukan penangkapan ikan yang amat intensif dari pada negara – negara belahan bumi selatan. 

Pada lokasi pada keadaan tertentu, ikan dan kerang – kerangan dapat dibudidayakan. Sepanjang pantai utara pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan Timur dan Selatan, Sulawesi selatan, kita dapat melihat bentangan tambak udang dan bandeng. 

Kerang hijau dibudidayakan di teluk Jakarta, kerang mutiara di sekitar pulau Dobo, Kai dan Tanimbar. Pembuatan rumpun laut, jaring terapung juga merupakan usaha baru dalam rangka memenuhi kebutuhan protein dari laut. 

Penambahan senyawa fosfat dan nitrogen akan mempersubur vegetasi lautan dan sebagai akibatnya, mempertinggi produksi ikan. Metoda ini telah dipraktekan di beberapa bagian dunia. Kerang – kerangan termasuk remis dan tiram dapat menghasilkan 750kg/1000m² dasar laut pertahun makanan protein. 

Disamping produk protein hewani lautan, sumber protein dari berbagai jenis alga juga memberi harapan yang cerah untuk dijadikan makanan hewan dan manusia. Berbagai rumput laut mengandung asam – amino dan mineral. Vegetasi lautan yang berbentuk alga uniseluler seperti Chlorella mulai dibudidayakan oleh manusia (terutama di Jepang) sebagai sumber protein mengandung 50% protein dari berat kering. 

Dilautan, fitoplankton yang menjadi makanan zooplankton yang kemudian seterusnya menjadi makanan ikan – ikan lainya merupakan mata rantai makanan dalam ekosistem laut. Dengan demikian fitoplankton dapat menyerap cahaya lebih intensif bagi proses fotosintesis. Jika permukaan laut tertutup oleh tumpahan minyak, fotosintesis plankton dapat terhenti dan putuslah mata rantai utama makanan (produsen) lautan. 

Walaupun secara politis lautan itu “milik” negara – negara yang menguasai, pada hakekatnya lautan adalah milik dunia, bukan hanya dalam hal memiliki kekayaan saja tetapi bahkan juga memiliki tanggung jawab bersama dalam menjaga kebersihanya dalam rangka melestarikan kekayaan dan menjaga produktivitasnya tetap berlanjut. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel